Cerita Si Tukang Becak

by - Januari 06, 2012


Siang itu matahari terasa sangat terik dan panas hingga menusuk ke kulit keriput orang tua itu. Tetes demi tetes peluh keringat mengalir perlahan di wajah tuanya sambil dengan perlahan mengayuh pedal becak tuanya. Sambil mengusap peluhnya ia teringat keluarganya di rumah. Yang ia pikirkan hanyalah “Apa yang akan ku bawa pulang nanti untuk mereka?”
        Sambil mengayuh, ia terus memperhatikan di sekeliling pinggiran jalan, berharap ada pelanggan yang akan menaiki becak tuanya. Rasa letihnya pun akhirnya terbayar oleh panggilan seorang wanita tua yang hendak akan menaiki becaknya bersama cucu kecilnya.
        “Pak! Becak!” Panggil wanita tua itu sambil melambaikan tangannya.
        Pria tua itu pun mengayuh becak dayungnya dengan agak bersemangat. Tapi…
        “Sudah Pak, nggak jadi.” Ucap wanita tua itu sambil menaiki sebuah becak mesin bersama cucunya.
        Sang pria tua itu menghela nafasnya. Rasa kecewa dan letih pun menyelimutinya. Namun ia tetap sabar dan tabah, mungkin saja itu bukan rezeki yang diberikan Tuhan kepadanya. Terpikir kembali di benaknya, “Apa yang akan ku bawa pulang nanti untuk mereka?”
        Senja hampir tiba, namun si tua itu masih saja belum mendapatkan pelanggan. Belum ada sepeser pun uang yang terkumpul di dalam sakunya, hanya uang dua ribu rupiah sebagai uang jaga-jaganya. Rasa haus dan lapar dibuangnya jauh-jauh mengingat anak dan istrinya yang belum makan. Enggan rasanya ia pulang ke rumah. Ia takut bertemu anak dan istrinya  dengan tangan kosong.
        Azan maghrib berkumandang, si tua itu masih belum mendapatkan uang. Ia pun mencari masjid terdekat untuk melaksanakan sholat maghribnya. Setelah selesai ia pun berdoa kepada Tuhan, “Ya Allah, mudahkanlah aku dalam mencari rezeki. Biarkan aku membawa sesuatu untuk anak istriku. Lindungilah dan berikanlah kesabaran kepada mereka selagi aku mencari uang untuk kebutuhan mereka.” Itulah doa si pria tua itu.
        Ketika ia hendak bangkit, dia melihat sebuah dompet bewarna coklat yang terjatuh di sebelah tempat sujudnya.
        “Ini kan dompet bapak-bapak berjas itu.” Pikirnya.
        Si tua itu lalu membuka dompet itu dengan sedikit rasa ragu. Ia melihat berlembar-lembar uang saratus ribu dan beberapa cek yang jumlah uang yang tertera di dalamnya sangat besar.
        “Andaikan aku punya uang sebegini banyaknya, pasti anak dan istriku hidupnya enak. Anakku bisa sekolah sampai sarjana. Tapi ini bukan hakku, aku harus mengembalikannya kepada bapak itu.” Batinnya. Lalu si pria tua itu melihat alamat yang tertera pada KTP si pemilik dompet coklat itu. Ia pun meninggalkan masjid dan bergegas pergi menuju alamat yang dituju.
        Lama juga perjalanan yang ia tempuh, kurang lebih setengah jam perjalanan. Dan akhirnya dia pun menemukan sebuah rumah besar yang besarnya 20 kali lipat dari besar rumahnya. Pagarnya begitu tinggi, ia pun tak tahu bagaimana harus memanggil orang yang ada di rumah itu.
        “Assalamualaikum… Pak… Bu… Assalamualaikum…” Panggilnya dengan suara agak deras.
        Seorang satpam tiba-tiba keluar dari posnya dan membukakan pintu pagar, “Ya, Waalaikumsalam Pak, ada yang bisa saya bantu?” Tanyanya dengan agak tegas.
        “Apa betul ini rumahnya Ferdiansyah?” Tanyanya sambil memperhatikan KTP pemilik dompet itu.
        “Ya, ada perlu apa Pak?” Tanya si satpam agak sinis.
        “Saya ingin bertemu dengannya, ada yang ingin saya berikan padanya.”
        “Sudah buat janji?”
        “Belum, tapi ini benar-benar penting.”
        “Maaf Pak, harus buat janji dulu. Tidak boleh orang sembarangan masuk kemari. Apalagi seorang tukang becak dayung kumuh seperti anda.” Gelak satpam itu semakin sinis.
        Si tua itu hanya bisa terdiam mendengar perkataan satpam itu. Dia tetap sabar dan tabah, dia sadar semua yang dikatakan satpam itu memang benar.
        Ia kembali ke becak dayung tuanya. Teringat dia pada anak dan istrinya yang belum makan, terpaksa ia hanya bisa membelikan dua potong roti dengan uang dua ribu rupiahnya itu dan ia bergegas kembali pulang. Tiba-tiba terdengarnya suara klakson mobil yang akan memasuki rumah itu. Ternyata bapak pemilik dompet coklat itu baru saja pulang. Si tua itu hanya memperhatikan mobil yang hendak masuk itu. Dan tanpa disangka bapak berjas itu menghampiri si pria tua itu.
        “Bapak kan yang tadi ada di masjid?” Tanya pria berjas itu.
        “Iya Pak, saya kemari cuma mau mengembalikan dompet Bapak, tadi saya lihat terjatuh di karpet sholat.” Lalu si pria tu memberikan dompet itu. “Bapak tenang saja, uangnya masih utuh kok. Ya sudah saya pamit pulang dulu ya Pak.” Si Pria tua mulai menggerakkan pedalnya.
        “Tunggu Pak!” Panggil si pria berjas itu.
        “Kenapa Pak? Uangnya ada yang hilang ya? Sumpah demi Allah saya tidak pernah menyentuh isinya sedikit pun Pak, kecuali KTP Bapak.”
        “Tidak Pak, isinya tetap. Saya ingin berterima kasih banyak kepada Bapak. Untung saja dompetnya di tangan Bapak, kalau tidak saya tidak tahu lagi harus bagaimana. Sebagai ucapan terima kasih saya, Bapak mau ikut makan malam bersa,ma saya dan keluarga saya?”
        Si pria tua itu sejenak berpikir, tak mungkin saja dia menikmati makan malam yang enak sedangkan anak dan istrinya kelaparan menunggu kedatangannya membawa uang dan makanan.
        Si pria berjas itu kembali meyakinkan si tua itu, “Bagaimana Pak? Saya berharap Bapak mau.”
        “Maaf Pak, anak dan istri saya sudah menunggu saya pulang, saya harus segera pulang.”
        “Kalau begitu tunggu sebentar ya Pak.” Ucap pria berjas itu.
        Setelah menunggu beberapa saat, pria berjas itu membawakan sebuah rantang untuk si pria tua dan memberikan sebuah amplop yang berisikan sebuah uang yang cukup banyak.
        “Eh eh, apa-apaan ini Pak?” Tanya si pria tua itu keheranan.
        “Ini Pak silahkan diambil, semoga bisa cukup untuk kebutuhan Bapak. Ini sebagai ucapan terima kasih saya kepada Bapak. Diterima ya Pak.”
        “Eh, tapi…”
        “Sudahlah Pak, tidak baik menolak rezeki.”
        “Baiklah, terima kasih banyak Pak. Akhirnya anak dan istri saya bisa makan.” Ucapnya sambil menangis haru.
        “Saya juga berterima kasih banyak Pak.” Pria berjas itu pun tersenyum.
        Si pria tua itu lalu pergi pulang dengan rasa bahagia bercampur haru. Akhirnya Tuhan telah mengabulkan semua doanya. Tak lupa si pria tua terus memanjatkan rasa syukur kepada Tuhan.
        Sesampainya di rumah, pria tua itu pun dapat bernafas lega melihat anak dan istrinya dapat makan dengan lahapnya. Dan uang yang diberikan pria berjas tadi pun dimanfaatkan pria tua itu sebagai modal untuk berjualan istrinya. Hidup keluarganya pun akhirnya menjadi lebih baik dari yang biasanya.
        Itu adalah cerita seorang tukang becak yang selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Ia tak pernah mengeluh walaupun sulit hidup yang ia jalani dan ia selalu sabar dan tabah menghadapi setiap cobaan yang ada. Hingga akhirnya dia memetik hasil dari sikap syukur dan sabarnya itu. Bagaimana denganmu? Sudahkah kamu bersyukur kepada Tuhanmu??? (Tamat)

You May Also Like

0 Komentar